Rabu, 17 Februari 2010


Bangun Dulu Kekuatan Lokal

Abdul Rahman, President Director, Agrakom, melihat bahwa perhatian penerapan teknologi informasi (TI) sebaiknya lebih diprioritaskan untuk dilakukan, khususnya di lingkungan perusahaan-perusahaan nasional. Hal ini, lebih mendukung daya saing menghadapi perusahaan-perusahaan mancanegara. Selain itu, perusahaan-perusahaan TI lokal perlu memberi perhatian untuk penerapan itu, sehingga kekuatan daya saing perusahaan lokal semakin meningkat dan secara langsung akan mendukung kemajuan nasional, terutama kegiatan ekonomi dan bisnis. Menurut dia, kemampuan nasional, dan kemungkinan kolaborasinya dengan pihak luar, sebaiknya difokuskan untuk mengembangkan kompetensi nasional, tentu dengan strategi bisnis dan kebijakan yang kondusif untuk itu. Dalam kesempatan ini eBizzAsia berkesempatan mewawancarai petinggi Agrakom ini dan berikut petikannya.

Foto: Dahlan Rebo Paing
Abdul Rahman, President Director, Agrakom

Bagaimana pendapat Anda mengenai perkembangan TI ke depan?

Kalau dibilang optimis, ya optimis. Bahkan dalam keadaan krisis sekalipun, ketika orang tidak mau investasi di bidang lain, investasi di TI tetap jalan. Tahun 1999, terutama dengan adanya Internet, perkembangannya tetap pesat.

Saya yakin sekarang semua orang, maupun lembaga, perusahaan, pemerintah sudah sadar akan perlunya penerapan TI yang, katakanlah, tepat guna. Tapi, bicara prospek TI di Indonesia saya masih optimis.

Tapi, infrastruktur TI masih lebih banyak bisa dinikmati di kota-kota besar.

Kendala-kendala itu tidak berarti membuat prospek itu tidak ada. Kendala itu kan cuma mempersulit. Kendala utamanya memang masih di infrastruktur, yang belum berkembang sebagaimana seharusnya. Yang dimaksud disini adalah infrastruktur komunikasi. TI sekarang kan benar-benar sudah merupakan penggabungan antara komunikasi dengan kemampuan komputasi. Jadi kalau perkembangan komputasinya cepat tapi telekomunikasinya terhambat, memang akan menjadi masalah.

Tapi semua itu kan cuma jadi hambatan. Memang menggangu, tapi bukan berarti harus tidak berjalan. Kan ada banyak cara untuk mengatasinya. Tidak ada fiber optic misalnya, orang bisa menggunakan wireless. Di desa-desa, orang bisa menggunakan satelit, misalnya dengan VSAT. Kalau bisa disediakan dengan harga terjangkau kan bisa menolong juga. Memang ini bukan yang ideal. Yang ideal, jaringan telekomunikasi bisa tersedia di mana-mana dengan harga murah. Kalau itu tidak ada, TI masih bisa berkembang juga.

Dibandingkan negara-negara Asia keunggulan TI Indonesia itu dimana?

Titik unggul saya tidak melihatnya. Maksudnya begini, yang saya maksud peluang adalah peluang buat Indonesia untuk mengembangkan kemampuan TI. Tapi kalau titik unggul Indonesia, dibandingkan dengan negara lain dalam hal persaingan, memang kita paling buruk. Itu kalau dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Cina, India. Kalau Jepang atau Korea tidak perlu dibicarakan lagi.

Kalau dalam SDM TI kita belum bisa mengalahkan India. Dalam hal infrastruktur, dibandingkan India mungkin masih menang. Tapi, kalau melihat jangka panjangnya, saya juga tidak yakin. Yang aneh dari Indonesia, yang di luar negeri justru bisa berkembang sangat pesat infrastrukturnya, di sini malah tidak. Ambil contoh cable TV. Meski ini bukan telekomunikasi dalam arti yang konvensional, tapi cable TV bisa dikembangkan jadi alat telekomunikasi juga kan? Di India sekarang sudah ada 40 jutaan rumah yang dilewati cable TV. Di Cina mungkin sekitar 70-80 jutaan. Di Indonesia baru ratusan ribu. Di India harga langganan cable TV cuma sekitar 25 ribu rupiah, di sini paling murah 150 ribu rupiah. Jadi perbedaannya besar sekali. Itu kalau bicara cable TV.

Dari sisi telekomunikasi fixed line, seperti yang disediakan Telkom, mungkin Indonesia masih lebih bagus dibandingkan India, tapi jauh di bawah Cina dan yang lain. Itu dalam hal ketersediaan. Dalam hal harga, kita masih mahal sekali, masih berkali-kali lipat dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Cina, dsb. Infrastruktur pun kita kalah, sedangkan SDM-nya, kalau dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita tidak terlalu kalah, kecuali dibandingkan dengan India. Tapi, kalau untuk memenuhi pengembangan TI di negara kita saja, SDM yang kita miliki cukup mampu.

Bagaimana mengatasi kelemahan-kelemahan itu?

Saya bicara dari sisi pandang perusahaan. Jika dalam rangka bersaing dengan perusahaan luar, itu sulit. Mungkin bisa, tetapi kemampuannya terbatas. Tapi ada juga yang melakukannya, seperti Sigma dengan Bali Camp-nya. Tetapi, Indonesia susah menjadi supplier TI besar, karena yang kita andalkan cuma upah buruhnya saja yang rendah. Untuk pengembangan software rasanya masih jauh. Tapi kalau untuk kebutuhan lokal, menurut saya perusahaan-perusahaan lokal itu memiliki keunggulan dibandingkan dengan perusahaan dari luar karena kita terbiasa dengan kendala-kendala di sini, terutama dalam hal (infrastruktur) telekomunikasi seperti yang dikatakan tadi.

Kita tahu misalnya untuk mengerjakan suatu proyek, bagaimana membuat sistem untuk proyek tersebut dengan memanfaatkan saluran telekomunikasi yang ada. Kalau konsultan dari luar, belum tentu mereka memahami kondisi itu, terutama telekomunikasinya sebaik apa. Untuk membantu pemerintah Indonesia dalam mengembangkan IT system saya kira perusahaan-perusahaan Indonesia memiliki keunggulan besar. Harusnya tidak perlu kalah dengan perusahaan-perusahaan asing yang mencoba menawarkan jasanya ke sini.

Yang perlu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di sini adalah jangan sampai ketinggalan dalam menyerap teknologi-teknologi baru. TI ini kan berkembangnya cepat sekali. Asal kita bisa mengikuti perkembangannya, rasanya kita tidak perlu khawatir kalah bersaing. Jadi dengan kedua faktor tersebut, yaitu tidak ketinggalan teknologi dan pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi di Indonesia, seharusnya kita bisa mengerjakan sendiri proyek-proyek TI di sini.

Bisakah vendor-vendor lokal membawa Indonesia bersaing di pasar internasional?

Menurut saya sekarang ini memang terlalu banyak jumlah perusahaan TI yang bersaing di Indonesia. Itu ada bagusnya. Bagusnya buat konsumen, yaitu yang memerlukan jasa TI bisa punya banyak pilihan, sehingga harganya bisa lebih kompetitif. Hanya saja, kadang-kadang ini membuat kualitas menjadi tidak terjamin. Banyak sekali proyek-proyek TI yang gagal karena diberikan ke perusahaan yang kurang mampu, output-nya tidak seperti yang diharapkan. Belum lagi proyek yang sifatnya penunjukan langsung, yang bisa menimbulkan kolusi sehingga lebih memperparah keadaan.

Tetapi kalau ditanyakan, apakah perlu ada penggabungan-penggabungan semacam itu, idealnya kalau terjadi, itu bagus. Kalau perusahaan-perusahaan di sini memiliki kesadaran melakukan konsolidasi antar mereka, sehingga jumlahnya menjadi lebih sedikit namun lebih kuat, itu bisa membantu. Tapi saya kok tidak yakin itu bisa dilakukan.

Apakah harus ada yang memulainya?

Saya rasa tidak. Malahan sekarang perusahaan-perusahaan besar dipecah, atau orang keluar dari perusahaan tertentu untuk kemudian mendirikan perusahaan baru lagi. Semua perusahaan yang basisnya lebih di SDM seperti TI, biro iklan, lawyer, dsb jarang sekali yang mau gabung menjadi besar. Seperti orang-orang di law firm, sampai pada tingkatan tertentu bisa saja mereka keluar dan membentuk firma baru. TI pun juga demikian.

Terkait dengan infrastruktur telekomunikasi, inisiatif apa yang diperlukan?

Selain tidak ketinggalan dalam penguasaan teknologi baru, kalau bisa terus menyadarkan pemerintah tentang perlunya infrastruktur itu dibangun lebih baik. Sebenarnya, tidak ada alasan infrastruktur Indonesia ketinggalan. Kalaupun itu terjadi, faktor utamanya karena regulasi. Kalau regulasinya diubah, itu baru bisa. Contohnya TV kabel, kenapa di sini susah karena izinnya saja tidak mudah diperoleh. Di India boleh ambil banyak sekali. Operator-operator kecil di kota-kota kecil bisa membangun untuk beberapa ribu rumah, sehingga cepat sekali berkembang.

Sedang di sini kita tidak boleh membangun begitu saja seperti itu. Sekarang kan yang ada hanya Telkomvision, kemudian Kabelvision dan Indosat (Indosat Mega Media). Kemudian cara memandang bisnisnya pun salah. Menurut saya ada semacam kesalahan pemilihan teknologi dan strategi. Mereka memilih kabel setaraf hi-end yang langsung bisa pay-per-view, bisa Internet, akhirnya ya jadi mahal. Kalau India kan tidak begitu, pokoknya nyambung dulu. Di Cina pun mula-mulanya seperti itu, baru kemudian ditingkatkan.

"Lebih baik perusahaan - perusahaan TI Indonesia itu lebih fokus dalam membantu perusahaan- perusahaan
Indonesia, bukannya bersaing menjual produk atau jasa TI ke luar negeri. Menurut saya bisa saja, tetapi sangat terbatas."

Itu untuk kabel. Untuk fixed line pun juga begitu. Selama ini kan yang ada hanya Telkom, tidak ada yang lain. Telkom agak khawatir untuk menjual atau menyewakan kapasitas kabelnya, karena dia takut nanti kabel yang dia sewakan digunakan juga untuk menyaingi bisnis inti dia, yaitu suara, misalnya dengan VoIP. Kan bisa saja, karena ISP-ISP sekarang ada yang melayani VoIP. Nanti kalau dia menyewakan dengan harga murah, orang pada menyewa untuk kemudian digunakan menggerogoti bisnis VoIP-nya sendiri.

Menurut saya, harus ada persaingan yang lebih keras terhadap Telkom di sini. Itu pun susah. Meski sekarang sudah dibebaskan, perlu berapa tahun munculnya perusahaan telekomunikasi yang bisa menyaingi Telkom. Seharusnya pemerintah bisa mengatur agar Telkom bisa menjual kapasitasnya dengan harga murah. Sekarang saja tarif suara diatur pemerintah, Telkom tidak bisa menaikkan harga seenaknya sendiri. Harusnya untuk data, juga begitu. Tarif leased line, ISDN, ADSL sebaiknya pemerintah juga ikut menentukan.

Harusnya kalangan industri di sini bisa mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung perkembangan infrastruktur tadi. Sekarang kan kelihatan, di seluler itu relatif lebih ada persaingan. Pemainnya saja cukup banyak, kemudian masuk lagi CDMA. Sekarang tarif seluler Indonesia tergolong lebih murah dibandingkan dengan luar negeri. Kalau telepon fixed tergolong paling mahal. Dengan adanya Telkom Flexi, bisa lebih murah lagi. Harusnya hal yang sama juga dilakukan di TI.

Memang sebaiknya ada Telkom-Telkom baru?

Idealnya begitu. Tapi sekarang kan nggak boleh. Sekarang yang berhak untuk investasi di data kan dibatasi, tidak bisa seenaknya orang bikin. Sementara di Singapura itu sudah boleh. Kalau dulu itu masih dimonopoli oleh SingTel.

Kompetensi apa yang semestinya dikembangkan di Indonesia?

Kalau kita ingin bersaing di bisnis TI, menurut saya berat sekali. Kalau itu dijadikan goal-nya, saya kira kita mengambil sasaran yang terlalu jauh. Yang paling penting adalah berupaya agar perusahaan-perusahaan di Indonesia itu tidak ketinggalan dalam penerapan TI dibandingkan dengan luar negeri, sehingga kinerja ekonomi kita tidak terganggu.

Maksudnya begini, kalau perusahaan-perusahaan Indonesia lambat dalam penerapan TI dibandingkan perusahaan sejenis di luar negeri, katakanlah perusahaan tekstil di Indonesia dengan di Vietnam, nanti semakin lama perusahaan tekstil Indonesia akan semakin tertinggal dan berkurang keunggulan kompetitifnya.

Bagi buyer tekstil, kemampuan TI semakin lama semakin penting. Mungkin maunya antara sistem mereka dengan supplier itu terhubung dengan baik dan aman. Kalau perusahaan tekstil Indonesia tidak bisa begitu, sementara perusahaan tekstil Cina bisa, kan sulit untuk bersaing. Yang paling penting bagi kita supaya perusahaan-perusahaan Indonesia tidak tertinggal dalam pemanfaatan TI. Jadi, lebih baik perusahaan-perusahaan TI Indonesia itu lebih fokus dalam membantu perusahaan-perusahaan Indonesia, bukannya bersaing menjual produk atau jasa TI ke luar negeri. Menurut saya bisa saja, tetapi sangat terbatas.

Perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki kemampuan di bidang itu silahkan jalan terus, seperti Sigma, atau Jatis. Tapi kalau kemudian perusahaan-perusahaan lain berusaha untuk meniru, saya rasa agak berat.

Konsentrasinya di mana, hardware atau software?

Kalau hardware itu susah bagi Indonesia, kecuali jika kita menjadi perakit saja. Sekarang mungkin Taiwan yang nomor satu, sebagian besar hardware komputer berasal dari sana. Taiwan untuk perakitannya, tetapi untuk komponennya seperti semiconductor itu dari Jepang, Korea atau Amerika. Mungkin kita akan mendapatkan seperti itu, sebagai perakit, tetapi bukan perusahaan Indonesia, kemungkinan asing.

Kalau software, misalnya package software, itu jelas miliknya Amerika. Mungkin paling penting adalah pengembangan software untuk sistem. Kemampuan itu yang seharusnya terus dikembangkan. Bagaimana kita bisa menelaah suatu kebutuhan, kemudian merencanakan solusinya, lalu implementasinya. Saya kira, sekarang bisnis TI yang terbesar dilakukan perusahaan-perusahaan Indonesia ada di situ. Seperti Sigma, kan implementasinya lebih banyak untuk perbankan.

Agrakom sendiri bagaimana perkembangannya?

Pertumbuhannya cukup baik. Walaupun kompetisinya ketat, sementara ekonomi Indonesia tidak sehat, pertumbuhan kami tetap bagus. Dari sisi pekerjaan atau proyek baru selalu ada, dan nilai per proyeknya semakin besar, jumlahnya juga terus bertambah.

Kalau yang disediakan Agrakom kan lebih pada membuat sistem untuk mendayagunakan TI yang sudah dimiliki perusahaan. Banyak perusahaan sudah memiliki berbagai sistem, misalnya untuk purchasing. Yang dilakukan Agrakom adalah membuat sistem yang sudah ada ini supaya bisa diakses dari luar, dengan membuatkan interface-nya ke Web, sehingga mitra bisnis bisa mengakses, begitu juga supplier. Sedang kebutuhan investasi untuk hardware atau software baru itu hampir tidak ada. Kita tinggal menambahkan di atasnya.

Dibandingkan perusahaan luar negeri, bagaimana posisi Agrakom?

Dalam hal teknologinya kita sebanding. Mungkin skala pasarnya mereka memang lebih besar. Kalau untuk masuk pasar luar negeri masih berat, jadi Agrakom lebih banyak untuk skala lokal saja. Kan saya ada pilihan-pilihan bisnis. Pilihan saya, kalau untuk IT services lebih baik lokal, tidak perlu dikembangkan untuk mencari market di luar Indonesia. • rf/aa




© 2003 eBizzAsia. All rights reserved.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar